JAKARTA – Aksi penikaman terhadap Menko Polhukam Wiranto mengindikasikan daya rusak kelompok teroris di Indonesia semakin menurun. Umumnya kelompok teroris dalam beraksi selalu menimbulkan ketakutan dan daya destruksi yang besar.
Hal tersebut dikatakan Kepala Pusat Studi Keamanan dan Pertahanan (PSKP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Najib Azca. Dia menilai aksi teror dilakukan Abu Rara terhadap Wiranto mengindikasikan daya destruksi para teroris mulai menurun.
“Ini refleksi bahwa daya penghancuran atau daya kemampuan destruksi dari kelompok teroris berkurang dibandingkan yang dulu,” kata Najib, Senin (14/10) kemarin.
Dijelaskannya, penggunaan senjata tajam untuk melukai target sangat berbeda dengan pola yang digunakan kelompok teroris sebelumnya, khususnya Jamaah Islamiyah (JI). Kelompok ini lebih dikenal dengan aksi teror yang berimbas kerusakan atau korban yang besar, seperti bom Bali pada 2002 atau bom Hotel JW Marriot pada 2003.
Menurutnya, anggota JI memiliki karakteristik operasi yang terlatih. Mereka mendapatkan pelatihan paramiliter di Afghanistan atau Mindanao, Filipina.
Sedangkan, teroris yang terafiliasi ke Jamaah Ansorut Daulah (JAD) yang pro-ISIS tidak terlatih secara kemiliteran. Aksi teror mereka tidak tertata. Pelakunya justru lebih banyak yang meninggal dibanding korban yang ingin diciptakan.
“Kelompok-kelompok yang belakangan beraksi di sini hanya orang yang terasuki virus jihadisme. Pokoknya yang penting mati, bahkan korbannya siapa tidak jelas pun enggak apa-apa,” kata Najib.
Meski demikian, kewaspadaan terhadap aksi-aksi teror JAD yang tak terduga itu tak boleh berkurang. Apalagi, seperti yang pernah diungkap Kapolri, mereka memang menargetkan sejumlah pejabat tinggi di Indonesia atau orang-orang yang dianggap memusuhi Islam setelah pembubaran HTI.
Penangkapan terhadap terduga teroris, juga tidak mudah karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, harus memiliki bukti permulaan yang cukup.
“Usaha pemantauan kelompok atau orang-orang yang berempati kepada gerakan terorisme itu juga tidak mudah dan membutuhkan kerja keras dari intelijen,” katanya.
Terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj meminta agar pemerintah bersikap tegas terhadap aksi teroris.
“Aparat kepolisian harus mampu mengungkap dan menindak aktor intelektual di balik aksi-aksi teror yang terjadi di Tanah Air. Kami Nahdlatul Ulama meminta aparat kepolisian harus mampu bertindak tegas terhadap radikalisme dan tidak boleh ada kesan negara kalah dalam menghadapi terorisme,” ujarnya dalam keterangan tertulisnya.
Menurutnya, negara tak boleh kalah dengan radikalisme dan terorisme yang terjadi di Tanah Air sekarang ini.
“Saat ini Indonesia sudah darurat terorisme dan radikalisme, karena selama ini kita bersikap terlalu ramah kepada mereka. Maka demi menyelamatkan NKRI, menyelamatkan seluruh bangsa Indonesia, maka sekecil apa pun yang mereka lakukan (terorisme) harus ditindak tegas,” kata Said.
Said menuturkan bahwa tindakan terorisme adalah tindakan biadab yang jauh dari norma, agama dan akhlakul karimah. “Apa yang mereka lakukan adalah tindakan biadab dan tidak sesuai dengan agama apa pun. Jadi kita harus lawan bersama. Apalagi mereka sudah berani terang-terangan,” tegasnya. (gw/zul/fin)
Sumber: Radartegal.com